Sabtu, 28 Februari 2009

CERPEN from KAJEN CITY part II

LUKA YANG DITINGGALKAN BAPAK

By

HANAN NOVIANTI

Di zaman serba susah sekarang ini, tampaknya menjadi seorang pengangguran cuma hal biasa. Siapa pun bisa. Bapakkujuga bisa.Tapi bapakku ini pengacara, alias pengangguran banyak acara. Bangun pagi, eh, siang, kemudian minum kopi. Lalu mandi—tidak sampai lima menit—berangkat naik motor gedenya dengan baju kusut dan apek karena terlalu lama ditumpuk di lemari.

Bapakku luar biasa bangga dengan motor besarnya. Motqr harley, tapi sebenarnya cuma mirip dengan harley. Roda belakangnya besar seperti ban mobil. Menyetirnya membuat tangan kita pegal karena stangnya yang lebar. Kakakku bilang itu motor jadi-jadian. Itu memang motor jadi-jadian. Barang-barang rongsokan yang diutak-atik oleh bapak sehingga jadi motor. Tiap sore motor itu sudah nongkrong di depan rumah, siap untuk dilap sampai berkilau. Kenal atau tidak, setiap orang yang lewat disapa oleh Bapak supaya mereka melirik motor besar berwarna merah itu.

Selain hobi berputar-putar dengan harley (sebut saja harley, biar keren), bapakku.juga hobi mengumpulkan barang-barang rongsokan. Tukang abu gosok plus barang-barang bekas jadi sahabat karibnya. Apa saja dia kumpulkan. Mulai dari besi-besi tua, seng, kayu-kayu, bahkan kloset WC bekas. Penuhlah halaman belakang kami dengan koleksi barang-barangnya. Awalnya hanya halaman belakang. Lalu koleksinya semakin lama semakin bertambah, sehingga berubahlah ruang keluarga kamijadi ruang penyimpanan barang. Setelah itu, halaman depan pun tak ketinggalan Jadi etalase barang-barang rongsokan.

Masih banyak kebiasaan Bapak yang selalu jadi perbincangan buruk keluarga, bahkan tetangga. Bapak tidak pernah shalat. Selama ini yang mengajarkan kami shalat adalah Ibu. Bila diberitahu lbu,"Pak, shalat. Kita nggak boleh lupa sama yang di atas."bapakku akan bilang,°Nggakusah soktahu. Itu urusan Bapak sama tuhan," kadang kalimat itu diakhiri dengan bantingan pintu oleh Bapak.

Atau kebiasaan Bapak merokok. Sehari bisa habis dua bungkus. Dari mana uangnya? Ya ngutang. Bukan hanya sekali tukang warung depan rumah menagih utang rokok Bapak pada Ibu. Ibu malu, dibayarnya utang Bapak. Sudah lunas utang di warung depan, datang lag! tagihan dari tukang warung seberang jalan. Begitu terus, sampai-sampai warung-warung dekat rumah sudah hapal bahwa bapakku suka ngutang rokok. Entah di warung-warung yangjauh dari rumah. Dan semua utangnya Ibu yang membayar.

"PakJangan suka ngutang. Ibu malu ditagih terus. Akhirnya Ibu yang bayar," begitu kata Ibu.

"Siapa yang suruh bayarin utang Bapak?! Ntar Bapak bayar semua! Belagut Mentang-mentang Bapak nggak kerja!"

Lalu Bapak akan pergi dan pulang pagi.

Entahlah. Membicarakan kejelekannya seolah tak pernah habis, tapi begitulah bapakku. Ibu dan kakakku cuma bisa diam, geleng-geleng kepala atau menahan sesak di dada. Ibu sudah hilang bawelnya. Dulu ibu memang bawel.Tapi lama-lama bawelnya ditelan juga.Tarikan napas panjang menandakan bahwa dia sedang makan hati. Dan setiap hari dia makan hati. Kakak sudah hilang hormatnya. Diam bukan berarti hormat. Diam bisa berarti tidak peduli, tidak menganggap dia ada. Tapi dia ada, dan selalu menghabiskan laukdi meja makan sebelum anak-anak pulang sekolah.

Kakakku pernah bertanya/'lbu kok bisa-bisanya sama Bapak?" ia bertanya begitu karena sudah seminggu ini jatah ikan asinnya dimakan Bapak.

Ibu diam.

"Heran. Ibu orangnya alim gini kok bisa dapetorang kayak Bapak. Udah pengangguran, nggak pernah shalat, sok tahu, lagi."

Bukan hanya kakak, bahkan tetangga-tetangga pun heran. Ibu termasuk orang yang rajin beribadah. Pengetahuan agamanya cukup baik. Sering ibu diminta untukjadi pembicara di pengajian ibu-ibu kompleks kami. Namun ditanya begitu oleh kakak, lagi-lagi Ibu diam. Menghela napas panjang, lalu menatap kakakku. "Kalau Ibu nggak kawin sama Bapak, ya kamu nggak akan lahir."setelah itu Ibu ngeloyor pergi ke dapur.

Barangkali memang kakaklah yang paling tidak suka dengan Bapak. Bahkan kalau boleh dibilang, ia benci pada Bapak. Jika Bapak pulang, dia langsung pergi. Jika Bapak pergi, dia pulang. Bisa dipastikan, di mana ada Bapak, di situ pasti tidak ada kakak. Jika ada Bapak dan juga ada kakak, maka ributlah mereka berdua. Kalau aku sih (dan juga adikku) masih asyik-asyik saja. Di balik semua kebiasaan buruknya, Bapak tetap Bapak, yang suka mendongeng dan pandai bercerita.

Sampai suatu ketika.

Saat itu aku kelas dua SMP, untukukuran anak perempuan, aku cukup bandel. Aku ingat hari Senin, minggu pertama di bulan Oktober. Hari di mana aku paling malas sekolah. Sejak pagi sebelum berangkat, aku sudah berniat: aku mau bolos.Waktu berangkat aku bukannya turun di depan gerbang sekolah, tapi membiarkan diriku mengikuti rute angkot sampai ke terminal. Terus, sampai angkot itu kembali lagi melewati rute yang sama. Tiba di jalan utama dekat gang rumah, aku turun. Ongkosku tidak cukup untuk naik angkot seharian. Aku pulang. Ingin makan. Sudan kusiapkan alasan kalau ada orang di rumah dan bertanya, kenapa aku pulang cepat. Akan kujawab; terlambat, nggak boleh masuk. Gerbangnya sudah ditutup.

Aku pulang. Menurut perkiraanku, di rumah paling-paling cuma ada Asih, pembantuku, atau Bapak. Mungkin bapak masih tidur. Ibu dan kakakku pasti sudah pergi kerja, dan adikku di sekolah. Aku membuka pintu pagar yang diselot. Pintu depan rumah setengah terbuka. Di ruang tamu tak ada orang, begitu juga di ruang tengah. Radio yang ada di ruang tengah menyala, memperdengarkan sebuah lagu yang tak kukenal. Kubuka tudung saji di meja makan, masih ada telur dadar sisa sarapan tadi.Tapi sebelum makan, aku mau ganti baju dulu. Aku menuju kamar belakang, tempat Ibu menyimpan baju-baju, baikyang sudah diseterika maupun yang belum. Pintu kamar belakang tak pernah ditutup, tapi kali ini tertutup.

Aku membukanya, dan terlihatlah apa yang seharusnya tak terlihat.

Itu Bapak dan Asih. Itu Bapak dan Asih.

Aku tak pernah tahu, tapi aku mengerti. Aku tak tahu, tapi aku mengerti, aku tak seharusnya berada di situ. Dan mereka tak seharusnya begitu. Mereka kaget, aku juga kaget. Rasanya seperti diri terhantam mobil.Tak siap menghadapi apa yang telah terjadi. Rasanya jantung seperti berhenti berdenyut.Tapi tak mungkin, karena degup jantungku justru semakin cepat. Rasanya waktu berhenti berdetak, namun itu juga tak mungkin karena terdengar suara dentang jam. Entah jam berapa, yang pasti saat itu kudengarjelasjam di ruang tengah berdentang. Bunyianya amat keras.

Aku tak seharusnya berada di situ, maka segera ke kamarku. Aku tak ingat apakah aku menangis atau tidak. Setelah merasa seolah-olah jantung dan waktu berhenti, aku seperti berada di awang-awang. Di langit-langit rumah, namun tanpa atap.Tak ada batas. ' Tak ada di bumi, tak menginjak bumi.

Barangkali aku cuma diam, aku tak ingat. Yang aku ingat adalah tak lama setelah aku masuk kamar dan duduk di atas tempat tidur, pintu kamarku dibuka. Itu bapak. Bapak kemudian memelukku, menangis. Memelukku erat, membelai rambutku. Menangis dan berkata, 'Maafin Bapak, Rin. Maafin Bapak...bapak khilaf..."

Apa yang harus kukatakan? Sudah berapa kali kau khilaf? Aku tak punya kata-kata. Aku tak siap berkata-kata.

"Maafin Bapak.-.Bapak salah..." ucapnya sambil menangis, "...habis ibumu orangnya begitu..."

Kenapa Ibu? Kenapa Ibu yang kaubawa? Kenapa haws menyebutkan nama Ibu?

Bapak terus menangis, meminta maaf, membelaiku. Aku pun menangis, tapi tak bisa dijelaskan kenapa aku menangis. Kecewa? Marah? Sedih? Luka? Aku menangis sama halnya dengan Bapak menangis. Aku meneteskan air mata namun aku tak tahu mengapa aku meneteskan air mata. Hingga orang kedua datang masuk ke kamar.

Asih, masuk ke dalam kamar dan langsung memelukku. Menangis sesunggukan, menyandarkan kepalanya di bahuku. Berkata, "Maaf, Mbak Rin-Maafin Asih... Bapak yang nyuruh.-.Bapak yang ngajak..."

Jadi bapakku yang mengajcik.

"Jangan bilang Ibu, Mbak Rin...tolong, jangan bilang lbu..."dia melanjutkan di sela-sela tangisnya.

Jangan bilang Ibu? Tidak! Ibu harus tahu.

Dia tak akan memaafkanmu dan juga Bapak.

Ini terlalu menyakitkan. Ya, ini teramat menyakitkan. Oh, tidak! Betapa sakit hatiku kini terasa. Kini aku tahu mengapa aku menangis. Karena rasa sakit di hati ini! Tidak, Ibu tak perlu tahu. Sebab aku tak ingin dia merasakan rasa sakit seperti ini. Cukuplah ibu tahu Bapak tidak pernah shalat, cukuplah Ibu tahu Bapak suka ngutang di warung. Cukuplah Ibu tahu apa yang selama ini dia lihat. Dia tak perlu tahu apa yang tak pernah dia lihat. Cukuplah aku saja yang tahu, bahwa Bapak yang selama ini tak kukira buruk, ternyata memang seburuk itu.

Ini luka, cukuplah aku saja yang merasa.

Telah begitu banyak tahun-tahun yang membeku.Terlanjur membeku. Seiring rentang waktu, aku belajar menjadi seperti kakak. Diam. Diam yang bukan normal Diam karena amarah yang terlalu hebat untuk dilontar. Tapi aku tak bisa seperti kakak yang bisa langsung ngeloyor pergi begitu berdekatan dengan Bapak. Aku tetap di rumah, menemani Ibu. Berusaha menahan perih luka yang menganga setiap Kali aku melihat Bapak.

Biasanya Jika bapak bertaya padaku, aku akan diam saja. Atau kalau Bapak mengajakku berbicara, aku pun diam saja. Bapak masih sering mengantarku ke gang depan rumah dengan motornya pagi-pagi, untuk ke sekolah.Tapi yang ada di antara kami adalah kebekuan.

Kini aku tak berani menatap mata Ibu.Takut ia mengetahui rasa sakit di hatiku lewat sorot mataku. Aku juga tak pernah menatap mata Bapak. Barangkali enggan, atau juga tak mau ia tahu bahwa aku bend padanya. Bend?.

Ya, aku bend jika aku ingat peristiwa itu lagi.

Kata-kata maaf memang sudah terlontar dari mulutku, tapi maaf belum keluar dari hatiku. Hatiku masih penuh gejolak.Tapi, ternyata energi dari dalam hati memang tak bisa ditutupi.Tentu saja ia keluar tanpa kusadari. la terpancar lewat bungkam yang lama. Dan Ibu mengetahuinya.

"Kenapa kok sekarang sikapmu berubah sama Bapak?" Ibu bertanya. la berusaha menatap mataku, sambil menyiapkan makan untuk adikku. Semenjak Asih pergi, pekerjaan Ibu bertambah banyak. Asih pergi begitu saja, beberapa hari setelah peristiwa itu ia mengundurkan diri. Ingin merawat bapaknya di kampung, begitu alasannya pada Ibu.

Untuk sejenak aku terdiam. Lalu, "Berubah gimana?"

"Ya..." Ibu berpikir sebentar, "Kalau Bapak ajak ngobrol, kamu langsung pergi. Nggakjawab. Kalau Bapak tanyaJuga nggak pernah kamu jawab. Kenapa?"

Harus kujawab apa, Bu? Haruskah kujawab karena ia telah mengkhianatimu?

"Kok diam saja? Ada masalah apa sin sama Bapak?"

Masalah? Banyak.

Tap! pertanyaan itu hanya sanggup kujawab •dengan, "Nggak kenapa-kenapa. Lagi males ngomong aja," kuhindari pertanyaan Ibu dengan beranjak pergi. Itu yang selalu dilakukan oleh keluargaku. Menghindar. Menghindari keributan. Menghindari masalah. Walaupun kami tahu, kami hanya menumpuk beban yang seharusnya bisa kami selesaikan.

Namun aku telanjur bend pada Bapak. Dan aku amatsayang Ibu. ; Jadilah kubiarkan saja semua lewat, meski selalu kuingat.

"Kamu darimana aja?!" suara Bapak langsung meninggi begitu aku memasuki rumah. Aku tak menjawab. Aku tak pernah menganggap dia ada.

"Ditanya jangan diam aja! Jawab!"

Ya. Aku jawab. Aku jawab dengan menendang kursi meja makan. Sakit, tapi aku tidak peduli. Itulahjawabanku untuk Bapak. Jawaban kedua, bantingan pintu kamar.

"Rini!" Bapak masuk ke kamarku, memandang dengan matanya yang berkilat-kilat. Bahunya naik turun karena napasnya yang pendek terengah-engah. Melihat Bapak seperti itu aku jadi ingat dengusan napas yang sama. Ketika itu. Aku ingat Asih. Aku ingat Ibu dengan segala beban yang harus ditanggungnya. Aku ingat rasa sakit yang menghimpit kala itu. Rasa sakit itu kini tiba-tiba datang, persis sama. Bedanya, kini bapaklah yang terbelalak di pintu.

Sakit dan muak yang mendorongku berkata, "Apa?! Bapak mau ngomong apa?!

Ayo, ngomong! Ngomong! Ngomong aja!"

Dari raut wajahnya tampak ia kaget dengan kalimat yang terlontar dari mulutku. Mungkin ia kaget melihat aku yang selama ini diam, kini menjawabnya dengan bentakan keras. Aku pun kaget. Tapi saat itu aku tak peduli.

Bapak melanjutkan/'Kamu anggap bapakmu ini apa?! Hah?! Kamu nggak pernah anggap Bapak ada! Nggak pernah hormat sama Bapak! Ini bapakmu! Bapakmu!" dia memukul-mukul dadanya.

"Gimana Rini mau hormat, kalau...?"Ada Ibu muncul dari balik punggung Bapak. Matanya bukan lagi berkaca-kaca, tapi air mata itu telah menetes, keluar dari matanya yang merah dan sembab. la telah khawatir menungguku pulang. Lalu ia harus melihat aku bertengkar hebat dengan Bapak. Kini, apakah ia harus tahu kalau...

Aku tak berani melanjutkan kalimatku.

Bapak yang melihatku diam, kembali berbicara, kali ini dengan volume lebih pelan, namun dengan ada suara yang tetap tinggi. la tetap berdiri di ambang pintu itu. Berbicara sambil menunjuk-nunjuk dada.

"Ini bapakmu, Rin. Jelek-jeiek begini, Bapak”

tetap Bapak kamu. Sebenci-bencinya kamu sama ' Bapak, Bapak nggak akan pernah ninggalin kamu;., Nggak akan!"ia berhenti sejenak. "Bapak tuh sayang sama kamu. Kamu nggak pernah tahu..." Tangisnya mulai keluar, "Dalam hati Bapak, Bapak ( tuh selalu mikirin kamu, Kakak...mikirin adek..." la membalikan tubuhnya, kemudian berjalan pelan. "Bapak nggak akan pernah ninggalin kalian...." suaranya perlahan menghilang bersamaan dengan sosoknya yang menghilang ke balik pintu... "Nggak akan pernah ninggalin kalian semua...."ltu seperti suara bisikan pada diri sendiri, bukan ditujukan padaku. Kemudian sosoknya benar-benar tak kelihatan lagi. Hanya Ibu, yang berdiri terpaku dengan mata sembab dan basah, menangis sesunggukan, kemudian mendekapku.

Malam itu, aku tidurdalam dekapan Ibu. la mendekapku seolah ingin meraba hatiku, mengelusnya, dan menjaganya dari apapun yang bisa menggoresnya. la mendekapku seolah ingin berbagi luka. Tapi, Bu, ini luka, tak akan kubagi untukmu.

730 hari yang membeku. Begitu dingin membeku, hingga mungkin butuh badai topan panas untuk mencairkannya. Rentang waktu tak memberikan jejak apa pun. Hari ini tetap sama. Masih ada aku dan Ibu yang berada di rumah, telah terbiasa dengan helaan napas panjang tanda sesak yang dihempas ke dalam. Masih ada kakakyang pulang jika Bapak tak ada dan pergi jika Bapak ada. Ada adikku yang perlahan mulai mengerti bahwa ada kebekuan yang menjalar di hati-hati kami. Dan masih ada bapakku, motornya, rokoknya, serta koleksi barang rongsokannya.

Namun badai topan ternyata datang tebih cepat dari yang kubayangkan. la datang hari ini. Topan yang melahirkan gelegartak dinyana. Kupikir aku siap. Namun aku tak siap melihat tubuh terbujur kaku karena asap rokok yang terlalu lama meniupkan racunnya. Bapakku telah terbujur kaku saat aku pulang sekolah setelah mendengar kabar bahwa Bapak masuk rumah sakit.

Badai ini perlahan mengembunkan kabut dingin, memperlihatkan kenangan yang selama ini tampak seperti ilusi nun jauh di sana. Ya, di sana. -. la jauh, tapi terasa amat dekat. Menggambarkan jelas sosok ayahku ketika ia mendudukkanku di pangkuannya saat aku menangis karena tidak mau makan. la dudukkan aku di pangkuannya, lalu mulailah ia bercerita. Cerita yang membuatku terlena, hingga aku tak sadar, sudah lima suapan nasi masuk ke dalam mulutku.

Terlihat jelas juga saat-saat aku selalu menangis sewaktu aku tidak mendapati dirinya berada di sampingku kala aku terbangun dari tidur. Semakin jelas. Semakin jelas bayangan saat ia menyiapkan botol susu untukku, membuatkan susu, lalu ia tak akan memberikannya sebelum melihatku tersenyum. la paling suka melihatku tersenyum. Jika aku tersenyum, ia juga akan tersenyum.

Pak, mengapa cintamu kini begitu jelas? Apakah yang selama ini menutupi penglihatanku akan cintamu? Kabut apakah ituyang berwarna nila? Menyembunyikan putihjejak cintamu kala kemurnian masih segar, mekar dalam jiwa?

Jejakmu tak selamanya hitam, punjejakku tak semuanya putih.

Pak, aku meleleh.

Kebekuanku meleleh, namun dalam sepi. Semua orang telah pulang, seolah enggan berlama-lama mengantarkan kepergiannya. Ibu telah pulang, setelah berulang kali pingsan. Ibu teriihat begitu kehilangan, sehingga aku merasa, ibu past! amat mendntaimu. Kakak telah pulang, menemani ibu. Begitu juga adik.

Di sini sepi tanpamu.

Tidakkah kau sepi di sana? Sepikah kau di sana? Aku ingin menemanimu. Biarkan doaku senantiasa mengiringimu. Sebab cintamu kini sungguh jelas kulihat.Tak pemah rnati, mengiringku. Aku akan tersenyum, rneski kau memang pernah menorehkan luka.

Ini luka, biarlah kusembuhkan dengan doa………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar