Minggu, 17 Mei 2009

BIRAMA CINTA By Momons

Dalam malam kuberdiri diantara badai. Siang, ku tak bisa meneduh dalam hujan. Aku manusia, hidup mematung tak bisa mendapati gerak. Aku hidup, tapi tak lagi dapat kau menemukanku dengan satu indra. Aku bergerak sendat, diantara gertakan- gertakan guruh manusiawi masa lalu. Acap kali menyayat poros jiwa dengan indra dengar. Aku tlah habis pikir untuk menemukan pandanganmu kembali. Aku tak percaya kau membesarkan ego, aku tak pernah menyangkal kau lari dengannya. Karena hati tlah terbubuh cinta sangat merba meski hati perih rasa. Nafasku hanya tersisa beberapa bait untuk ku hembus. Jantung pun tak lagi berdenyut wajar. Hati semakin berat berharap, tapi mata tak dapat aku lihat dalam gelap waktu aku mengharap datang. Mana dirimu dengan cintamu itu? Mana kesaksianmu yang selalu akan disisiku? itulah pertanyaanku semasa aku masih dapat berkedip lancang. Pagi mentari menyambutku dalam cerita itu, tapi tiada pagi yang dapat aku jamah. Panas dinginnya hari itu aku tak lagi mendapati nafas dalam takdirku.Maafkan aku yang telah pergi dari genggamanmu meski tiada hati untuk berharap. Berbalut putih untuk menghadap, melepaskan cinta yang tak kunjung datang.

Sepenggal cerita saat aku terkedip sesaat dan terpejam kemudian untuk selamanya. Saat aku masih menyadari bahwa yang dimiliki tak pernah akan abadi, namun hanya perasaan yang dapat terjaga dalam keabadian. Anugerahku hanya cinta yang diberikan. Takdirkupun hanya terbatas sesaat senja, masih harus terombang- ambing dalam kelu- kelu balurluka. Mungkin hanya maya yang penuh murka ini yang selalu mengebiriku dalam asa durja,mungkin juga hanya rasa fatamorgana yang tercipta, dan mungkin karna hanya sesaat senja peradaban usiaku yang tak cukup untuk menghapus dosa- dosa itu. Hidupku hanyalah ilalang yang penuh nestapa, symphoni- symphoniku hilang ditalan murka, birama- birama hidupkupun kalang kabut senja. Mengapa segalanya senja?'' Karena senja hanyalah sesaat'' Hanya tinggal gending- gending yang menggertak kalut hancurkan jiwa. Bunga hati itu masih dalam mimpi. Bunga hati yang dapat menghapus intilisi- intilisi senja, juga agonia jiwa sekalian dengan maaf- maafmu dan dengan memento abadi.

Kembali aku bergulir di kota ini, dimana berrajut- rajut rakyat kecil berrebut oksigen untuk berkelangsungan hidup. Meski sisa- sisa para peninggi kota dengan lalapan asap pabrik- pabrik dan gas- gas CO lainya. Meskipun demikian mereka tetap hidup riang dengan senyum- senyum bunga nyungirnya. Semuanya pastilah karena kebersamaan, dan tak ada 0 interaksi disini.

Diatas meja jati, dibawah naungan kenting hitam memudar diantara bambu- bambu penyangga yang nyaris meleset dan ambruk. Aku kembali berkisah merajut benang- benang takdir cinta, sangat membosankan bagi mereka. Masih pada Fia. Masih dengan pena perilis hati kurangkai bersama angin- angin ilalang dari clah- celah jendela reot. Kubujuk jemari- jemariku untuk menari dengan selendang pena.

Pagi ini terangkai begitu indah, seakan awal bersemi untuk selamanya. Tak akan pernah gugur. Aapalagi gersang. Aku adalah fino yang sedang menyandang kebahagiaan mendalam di akhir pekan ini. Mungkin sampai awal lagi dan sampai akhir kembali.

Logikaku tersumbat karang dengki kontribusi alergi. Mulut mati tak bersua satu bahasa pun. Hanya terdiam mematung bak wayang tanpa dalang. Aku mencintainya hingga saat ini dan dari sejak dulu. Bersusah- susah dahulu bersenang- senang kemudian pun berbuah dan teralih menjadi semboyan diatas takdir- takdir cintaku tyang selama ini sembuh memar. Bersama usah peluhku, dalam cerita agonia aku meniti jalan berduri menyeruak. Hanya satu tujuanku menuju rumah hatimu. Mereka adalah rintangan. Prawan, janda yang kebang maupun ongkang- ongkang, yang manja dan genit. Semua adalah alasku untuk menghindari becek debu basah tyang berminggu- minggu tersiram hujan asam. Hingga akhirnya takdir cinta membawaku sampai rumahmu. Sebuah rumah yang menyelinap diantara memento- memento hati. Pintunya yang indah sumringah basah didasar bibir dilemamu. Ditepian pantai basah gelisah kusandarkan rinduku. Dua setengah tahun rindu dengan cinta yang hijrah tak kunjung pulang. Merindukah dia seperti rasa yang aku rindukan?Begitulah katanya. Kini segalanya telah ditanya dan terjawab diantara ambang lamanya diri ini malang melintang mencinta dalam keganjalan. Ada setitik rasa tanpa identitas. Dan kini aku telah pergi darinya dalam nyata.

Aku rindu 28 february, bukan juga itu jum’at pahing, ban bocor, sok tau, sekalian orangnya yang berkesangkutan.

Fia Anandita. Masih sebagai janji cinta dalam gulir hati sesungguhnya. Masih senyum kupu- kupu manjanya hambur beterbangan mengelokan jiwa dibalik agonia rasa. Masih denganmu aku melewati mimpi, didalamnya kau jelmaan peri lugu bermata bening purnama. Berjuta citra rasa hati tlah ada diatas cinta. Akhirnya Finolah yang akan menjadi Janakanya Srikandhi Fia. Of course.

Hingga seperti saat ini kita telah menyatu dalam satu purnama dilentera kalbu. Dan yang pahit dua setengah tahun silam tlah sirna tertimbun karang di pantaian senja itu.

Dari hati tlah kembali menumbuhkan kembali gelora- gelora cinta tak bertepi. Namun masih seperti yang selalu aku lamunkan dalam bulir lamun ngilu. “ Kebahagiaanku hanyalah sesaat senja, dan balauku sepanjang malam. Bebatuan yang telah menolongku sekejap berubah menjelma jadi duri dan pecahan kaca. Aku tak tahu mengapa mereka berubah, karena malam begitu gelap, tak satupun lintang- lintang ia pancarkan. Tentu mataku tak melihat kakiku bersimbah darah. Luka menjelma tak terasa karena rasa cintaku lebih untuk wanita ungu dirumah ujung sana meski takdir selalu meminta senja. Namun cintaku tak pernah senja. Gerhana adalah agonia, begitulah saat aku menjerit batin kesakitan.

Aku telah sampai didepan rumahmu lagi. Diantara gerbang senja semerbak wangi sayu. Fia menyambut muramku dengan senyum kupu- kupunya begitu indah malam ini. Muramkupun spontan hilang terhanyut senyum santun menyambutku.

Darahku semakin menyimbah menggenangi lempengan lantai putih suci. Pipiku musam oleh keruh air mata. Senyumnya hilang ditelan panik. Fia, padahal aku membutuhkan senyummu untuk menopang agonia yang merata dalam jiwa. Ia bertanya siapa, karena apa aku bisa seperti ini.

Tahun ini shio kerbau. Tapi lain adi zaman, melainkan adu kerbau, tapi adu domba. Ya, itulah kerbau berbulu domba, putih, anggun, elok tapi dalamnya hitam fitnah. Dari pejabat, knglomerat, saudagar, lover, semuanya menaiki domba lengkap dengan jas baja dan helm panci yang mereka curi dari dapur istrinya. Lidah bak samurai yang lentur tapi tajam, untuk bersilat. Begitu juga lover yang berlagak panah cupid enggan melukai dengan anak panah namun dengan samurai yang ia pegaskan dalam mataku, hingga sekujur tubuhku. Itulah penyimbah darah.

Kepalaku menyandar didasar bahu Fia. Srikandhi berdarah merah, bukan biru juga dingin. Mendekapku dengan selendang asmara maha kasih. M embius luka mati rasa. Tangannya lembut, santun membelai kasih.Bibirnya bertiup lantun maha gemulai diantara luka- luka teragonia salah satu dari perawan, janda kembang, maupun ongkang- ongkang yang genit dan manja bak selir Rahwana.

Fino terredam dalam peluknya. Mungkin ia sedang bermimpi tak sembarang mimpi. Ia mempersunting srikandi dalam nyata tapi mimpi. Tiada senja tiada gulita dalam mimpinya. Fino tersipu senyum kecil ditengah perjalanan maya hingga mengejar kupu- kupu kemudian ia terbangun.

Fino..Hari sudah tak senja lagi, sudah tak gelap lagi, lihatlah fajar cerah tersenyum padamu, pulanglah masih banyak yang kau tunda. Katanya santun mempesona. Nuansa fajar semakin menghilang, akupun melangkah kembali. Sudah tak kutemukan luka maupun memar. Srikandhi bukanlah seorang tabib, ia baru bercita- cita tapi sudah sehebat ini. Burung- burung tersenyum padaku dengan kucau riau, entah ada yang bermaksut mengejekku. Pagi ini aku sudah tidak lagi menemukan batu- batu itu.

Hari ini yang hijrah telah kembali, yang luka telah sembuh, yang pernah hilang telah kutemukan lagi. Begitu berharga, kan kutulis dengan tinta mas beralas putih kain sutra dari nirvana mimpi, bukan lagi dengan sepucuk kerta binder seperti biasanya.

Itulah mengapa hidup tak selalu lurus pada jalannya. Tak seperti doa yang terkabul takdirnya. Terkadang kita berharga lebih namun faktanya lain diharap.

Dari hati tlah kembali dengan cinta maha rama, meski terawal dari gertak- gertak kalut namun hati telah tenang agaknya. Segalanya telah kudekap hangat. Akan ku tanamkan kembali kejujuran- kejujuran indah membuai membahana sepanjang masa. Meski aku telah tiada lagi,bukan untuk meninggalkanmu. Hanya aku tak bisa menentang garis takdir-Nya. Kutinggalkan karya harsat jemariku ini untuk kau bingkaikan dilukisan- lukisan kisah mesra pekan lalu. Saat kau masih menari- nari denganku sebelum pesta kematianku. Hari sudah terang, berhentilah terpejam.